RADARBLORA.COM,– Kunjungan silaturahmi Wakil Bupati Blora, Sri Setyorini, ke sebuah gubuk reyot di Desa Tempellemahbang, Jumat 19 September 2025, justru mengungkap persoalan kesehatan mental yang sangat serius dan terabaikan. Fakta yang mengejutkan muncul: bukan 5, melainkan 25 orang warga di desa tersebut dilaporkan mengalami gangguan jiwa dan depresi.
Kunjungan Wabup Sri Setyorini ke gubuk milik Tarso, warga RT 05 RW 02, yang awalnya bertujuan menyerahkan bantuan dan identitas kependudukan, berubah menjadi alarm peringatan bagi pemerintah daerah
Ditemani Kepala Dinas Sosial P3A Kabupaten Blora, Luluk Kusuma Agung Ariadi serta Wabup Sri Setyorini langsung mendapat laporan mengejutkan dari Babinsa setempat di lokasi.
Kesenjangan Data yang Mengkhawatirkan.
Yang paling mencengangkan adalah kesenjangan data yang sangat lebar. Sebelumnya, aparatur desa hanya menyebutkan 5 orang ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Namun, pernyataan resmi Babinsa Koramil Jepon di hadapan Wabup dan Kepala Dinsos membuka tabir bahwa jumlah sebenarnya lima kali lipat lebih banyak.
Fakta ini mempertanyakan efektivitas pendataan dan keseriusan jaring pengaman sosial di level pemerintahan desa. “Lebih sering turun, sering verval, validasi data secara dinamis tidak boleh absen atau malas, itu jangan,” tegas Luluk Kusuma Agung Ariadi, menyindir kinerja perangkat desa setempat.
Janji Tindak Lanjut dan Kritik Sistemik
Menanggapi temuan ini, Kepala Dinsos Kabupaten Blora, Luluk Kusuma Agung Ariadi berjanji akan segera menindaklanjuti dengan pendampingan psikologis.
“Kami tindaklanjuti, pendampingan psikologisnya nanti kita titipkan di LKS (Lembaga Kesejahteraan Sosial) untuk ODGJ. Bagaimana pun ODGJ itu juga manusia harus kita layani,” ujar Luluk. di kutip dari berita memanggil.co
Namun, janji ini juga menyiratkan kritik sistemik. Pernyataan Luluk, “Kami juga punya operator di desa,” mengindikasikan bahwa infrastruktur pendataan sebenarnya ada, tetapi tidak berjalan optimal.
Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: berapa banyak lagi ‘Desa Tempellemahbang’ lain di Kabupaten Blora, bahkan di Indonesia, yang data kemiskinan dan kesejahteraan warganya tidak terpetakan dengan benar?
Temuan 25 ODGJ di satu desa bukan lagi sekadar persoalan lokal, melainkan potret buram krisis kesehatan mental dan kegagalan sistem pendataan di tingkat akar rumput. Masyarakat kini menunggu tindakan nyata, bukan hanya janji, dari Pemerintah Kabupaten Blora untuk membenahi sistem dan memberikan penanganan yang komprehensif bagi 25 warga yang selama ini mungkin terlupakan. (RB)